Jeneral Tomoyuki Yamashita (山下 奉文 Yamashita Tomoyuki) (8 November 1885 – 23 Februari 1946) adalah seorang Jeneral Tentara Imperial Jepang semasa Perang Dunia II. Dia terkenal kerana berhasil memimpin Tentara Jepang Ke-25 dalam kemenangan semasa kampanye penaklukan Semenanjung Melayu dan Singapura. Kerana keberhasilan ini, Yamashita menerima julukan “Harimau dari Malaya”.
Yamashita dilahirkan di sebuah perkampungan kecil bernama Osugi Mura di Pulau Shikoku pada 8 November 1885. Setelah lulus dari Akademi Kadet pada tahun 1905, Yamashita mengikuti Akademi Angkatan Darat Jepang (Army War College (Japan)) dari tahun 1913 hingga tahun 1916. Berturut-turut dari tahun 1919 hingga 1922, Yamashita ditugaskan sebagai Atase Pertahanan di Berlin, Jerman dan di Bern, Swiss.
Karena pengalaman dan wawasannya tentang wilayah Eropa terutama Jerman, Yamashita juga menjadi dosen pada almamaternya, Akademi Militer Angkatan Darat. Setelah mendapat promosi menjadi letnan kolonel, pada 1927 Yamashita ditugaskan menjadi Atase Militer Jepang di dua tempat di Eropa. Yaitu di Wina, Austria dan Budapest, Hongaria selama sekitar dua tahun.
Setelah selesai bertugas sebagai atase militer di Eropa, Yamashita dipromosikan menjadi kolonel dan menempati posisi sebagai Komandan Resimen ke-3 AD Jepang. Dua tahun berselang, pada 1932 ia ditugaskan pada Kementerian Perang Kekaisaran Jepang (Imperial Japanese War Ministry) sebagai Kepala Seksi Urusan Angkatan Darat pada Biro Urusan Kemiliteran. Jabatan Kepala Seksi Riset Militer pada Biro Riset Kemiliteran di kementerian yang sama pun dapat ditempati oleh Yamashita tiga tahun kemudian. Karirnya semakin bersinar dan mendapat promosi menjadi mayor jenderal pada 1936.
Di tahun yang sama terjadi puncak pergolakan di tubuh AD Jepang. Di satu sisi faksi Kodoha (Jalan Kekaisaran) pimpinan seorang jenderal bintang empat, Sadao Araki yang dikenal sebagai seorang pemikir di kalangan AD Jepang juga sebagai anggota Lembaga Penasehat Perang Tertinggi. Jenderal Araki juga mendapat dukungan dari seniornya, Jenderal Jinzaburo Masaki. Sementara seterunya adalah faksi Toseiha pimpinan Jenderal Kazushige Uzaki yang didukung perwira tinggi seperti Letnan Jenderal Hajime Sugiyama dan Hideki Tojo. Faksi Kodoha berhalauan ultranasionalis dan cenderung radikal sementara Toseiha dikenal lebih konservatif. Pasca insiden 26 Februari 1936 yang dimotori pendukung Kodoha dan mengakibatkan tewasnya tiga pejabat tinggi maka Kaisar Hirohito segera memerintahkan AD dan AL Jepang untuk bersama-sama menumpas para pemberontak. Akhirnya 19 orang berhasil dieksekusi dan lebih dari 70 lainnya dipenjara. Terdapat pula dua perwira yang menolak menyerah dan mereka memutuskan untuk melakukan seppuku.
Mayor Jenderal Yamashita luput dari hukuman namun “dibuang” ke Korea untuk memimpin Brigade Infanteri ke-40. Setahun berselang, pangkatnya naik menjadi letnan jenderal dan ditugaskan menjadi pengamat masalah Korea Utara. Dua tahun kemudian Mayor jenderal Yamashita bertugas sebagai Kepala Staf AD Jepang Wilayah Cina Utara. Jabatan Panglima Divisi ke-4 di Manchuria pun pernah dijabatnya dari 1939-1940 sekaligus memperoleh promosi menjadi letnan jenderal.
Dekatnya hubungan militer antara Jepang dengan Jerman dan Italia pada awal Perang Dunia II membuat Letnan Jenderal Yamashita ditugaskan dalam delegasi militer untuk berkunjung ke Berlin dan Roma pada awal 1941.
Ketika berkobar pertempuran di Front Pasifik, maka Letnan Jenderal Yamashita dipromosikan untuk memimpin Tentara AD Jepang ke-25 (25th Imperial Japanese Army). Pasukan ini bertugas untuk merebut Semenanjung Malaya dari pasukan Inggris dan sekutunya. Secara keseluruhan, Jepang mengerahkan 70.000 personel, sementara lawan mereka berkekuatan dua kali lipat lebih besar. Yamashita kemudian menyusun strategi untuk melakukan invasi dari tiga titik di bagian utara pantai timur Semenanjung Malaya. Dua titik pendaratan berada di wilayah Thailand Selatan, yaitu Singora (sekarang Songkhla) dan Pattani, sementara satu titik lagi adalah Kota Bharu.
Pasukan yang mendarat di Singora dan Pattani adalah elemen dari Divisi Infanteri ke-5 dan ke-18 AD Jepang dan didukung Divisi Pengawal Kekaisaran (Imperial Guard Division) serta empat resimen tank (dengan dilengkapi tank tipe M-95 dan M-97) dalam Grup Lapis Baja (Tank) ke-3 yang bergerak dari Thailand. Selanjutnya mereka diperintahkan bergerak ke selatan menyusuri pantai barat Semenanjung Malaya sementara pasukan yang mendarat di Kota Bharu akan bergerak menyusuri pantai timur. Invasi serentak ini berlangsung hanya 70 menit sebelum serangan Jepang terhadap Pearl Harbor. Sehari sebelumnya, pada 7 Desember 1941 sebuah pesawat Catalina milik AU Inggris ditembak jatuh oleh pesawat Jepang ketika sedang melakukan tugas pengintaian terhadap aktifitas AL Jepang yang dicurigai mempersiapkan suatu operasi.
Invasi besar-besaran untuk merebut Kota Bharu menggunakan tiga kapal angkut personel, masing-masing Awajisan Maru, Ayatosan Maru dan Sakura Maru yang mengangkut lebih dari 5.000 personel AD Jepang dari Divisi Infanteri ke-18 di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hiroshi Takumi yang berada di kapal Awajisan Maru. Kapal-kapal ini dikawal oleh gugus tugas AL Jepang dengan pimpinan Laksamana Shintaro Hashimoto yang terdiri dari satu kapal penjelajah ringan Sendai, empat buah kapal perusak (Ayanami, Isonami, Shikinami dan Uranami), dua buah kapal penyapu ranjau dan satu kapal jenis sub-chaser. Kebanyakan dari personel AD tadi adalah veteran yang terlatih bertempur di medan pegunungan, hutan, sungai dan pantai.
Pasukan Inggris yang bertugas menjaga Kota Bharu adalah Brigade Infanteri India ke-8 pimpinan Brigadir Jenderal A.W. Key yang didukung oleh Baterai Artileri ke-21 pimpinan Mayor J. B. Soper dengan kekuatan empat buah howitzer kaliber 3,7 inci. Wilayah pantai dijaga satu batalyon Dogra yang membuat kubu-kubu pertahanan dengan dilengkapi senapan mesin serta menanam ranjau dan memasang kawat berduri di sekitar pantai. Batalyon ini juga didukung Baterai Artileri Medan ke-73.
Invasi diawali dengan bombardir artileri dari kapal-kapal AL Jepang terhadap pantai. Setelah itu baru pasukan infanteri mulai bergerak ke darat. Pasukan Inggris mulai menembak setelah pasukan infanteri Jepang memasuki garis pantai termasuk menggempur dengan senapan mesin dan artileri. Namun karena jumlah kekuatan yang tidak seimbang, pertahanan Pasukan Inggris pun dapat didobrak.
Superioritas kekuatan udara juga dimiliki Jepang yang mengerahkan lebih dari 500 sementara pesawat AU lawan hanya berjumlah 150-an. Walaupun begitu, pesawat-pesawat Hudson dari Skadron 1 AU Inggris yang berpangkalan di Kota Bharu berhasil menyerang kapal AL Jepang dan menenggelamkan kapal Awajisan Maru.
Pasukan Jepang akhirnya dapat menguasai Kota Bharu pada 9 Desember 1941 sementara Pasukan Inggris dipaksa mundur ke selatan.
Di laut sebenarnya AL Inggris telah menyiagakan Force Z, pimpinan Laksamana Tom Philips yaitu kapal HMS Prince of Wales, HMS Repulse plus empat kapal perusak. Namun mereka tetap tidak bisa membendung kekuatan Pasukan Jepang, bahkan HMS Prince of Wales dapat ditenggelamkan oleh pesawat pembom Jepang pada 10 Desember 1941.
Gerakan Pasukan Jepang terus menerobos pertahanan Pasukan Inggris ke arah Singapura, hal ini didukung logistik yang memadai, persenjataan dan perlengkapan berupa sepeda bagi personel infanteri sehingga dapat bergerak lebih cepat dan lincah di medan tempur. Sedangkan untuk kendaraan lapis baja, Pasukan Jepang mengandalkan tank ringan tipe 95 dan tipe 97 yang dilengkapi meriam kaliber 37 mm.
Pada 14 Januari 1942 Pasukan Jepang yang bergerak dari Singora, Pattani dan Kota Bharu bersatu menginjakkan kakinya di wilayah Johor. Mereka mendapat perlawanan sengit dari Divisi Australia ke-8 pimpinan Mayor Jenderal Gordon Bennett. Melihat pasukannya semakin terdesak, Panglima Tentara Inggris Malaya Letnan Jenderal Arthur Percival meminta izin kepada Panglima ABDACOM Jenderal Archibald Wavell untuk mengevakuasi pasukannya menyeberangi Selat Johor untuk mundur ke Singapura. Evakuasi dilakukan pada 27 Januari, empat hari kemudian akhirnya Kota Johor berhasil dikuasai Jepang. Semenanjung Malaya berhasil direbut Pasukan Jepang.
Atas keberhasilan tadi bukan berarti invasi Pasukan Jepang berhenti, mereka terus merangsek untuk menduduki Singapura. Letnan Jenderal Yamashita memimpin 30.000 prajuritnya yang terdiri dari tiga divisi, masing-masing Divisi Pengawal Kekaisaran pimpinan Letnan Jenderal Takuma Nishimura, Divisi Infanteri ke-5 dan ke-18 AD Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Takuro Matsui dan Letnan Jenderal Renya Mutaguchi. Gempuran artileri dan serangan udara dilakukan mulai 3 Februari 1942, empat hari kemudian barulah dilakukan pendaratan di Pantai Sarimbun. Disini mereka menghadapi perlawanan Brigade Australia ke-22 pimpinan Brigadir Jenderal Harold Taylor. Wilayah Bukit Timah yang merupakan gudang amunisi, bahan bakar dan pusat air bersih bagi Pasukan Sekutu berhasil diduduki oleh Pasukan Jepang pada 11 Februari.
Pada 15 Februari pagi hari Letnan Jenderal Arthur Percival berkoordinasi dengan perwira-perwiranya, mereka membahas langkah selanjutnya apakah melakukan serangan balasan untuk merebut Bukit Timah atau menyerah kepada Pasukan Jepang. Mengingat kekuatan dan dukungan tidak memadai untuk melakukan serangan balasan tersebut maka akhirnya Letnan Jenderal Percival memutuskan untuk menyerah secara resmi pukul 5 sore. Penyerahan ini menjadi yang terbesar dalam sejarah, sebanyak 130.000 prajurit Sekutu menjadi tawanan Pasukan Jepang.
Keberhasilan tersebut jelas menjadi satu prestasi bagi Letnan Jenderal Yamashita. Julukan The Tiger of Malaya diperolehnya karena prestasi ini.
Selanjutnya pada Juli 1942 Letnan Jenderal Yamashita ditugaskan ke Botenko, Manchuria untuk memimpin Tentara Darat Wilayah 1. Perpindahan Yamashita ditengarai terkait rivalitasnya (yang dimulai sejak perseteruan dua faksi dalam AD Jepang) dengan Hideki Tojo yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang. Di Manchuria barulah Yamashita memperoleh promosi menjadi jenderal bintang empat.
Ketika situasi perang berbalik menjadi tidak menguntungkan bagi Jepang, maka Jenderal Yamashita ditugaskan memimpin Tentara Darat Wilayah 14 untuk mempertahankan Filipina dari gempuran Pasukan AS. Jenderal Yamashita tiba di markasnya di Manila pada 10 Oktober 1944, sepuluh hari kemudian Pasukan AS yang dipimpin Jenderal MacArthur mendarat di Leyte. Selanjutnya Pasukan AS mendarat di Teluk Lingayen, Luzon pada 6 Januari 1945. Hal ini semakin mempersempit ruang gerak Pasukan Jepang. Guna mengantisipasi gempuran pasukan AS selanjutnya, Jepang kemudian mengerahkan bantuan dari Korea dan Manchuria.
Sebanyak 262.000 prajurit dikendalikan Jenderal Yamashita dalam tiga grup pertahanan. Satu hal keunggulan Pasukan AS adalah superioritas kekuatan udara yang digunakan untuk mengisolasi Jenderal Yamashita dan pasukannya. Akibatnya Jenderal Yamashita terpaksa mundur dari Manila menuju pegunungan di bagian utara Luzon. Manila berhasil direbut Pasukan AS pada 3 Maret 1945.
Jenderal Yamashita baru resmi menyerah kepada Pasukan AS di Keangan, Luzon pada 2 September 1945. Kemudian pengadilan militer AS di Manila menyidangkan Jenderal Yamashita atas tuduhan kejahatan perang berupa pembantaian brutal oleh Pasukan Jepang di Manila yang terjadi pada awal Maret 1945 yang terkenal dengan sebutan Manila Massacre. Proses persidangan ini berlangsung mulai dari 29 Oktober sampai 7 Desember 1945. Setelah diputus bersalah dan dijatuhi hukuman mati maka pada 23 Februari 1946 dilaksanakan hukuman gantung bagi Jenderal Yamashita di Kamp Tawanan Los Banos, sebelah selatan Manila.
Comments
Post a Comment